SELAMAT-DATANG

Assalamu'alaikum warohmatullohi Wabarakatuh
SELAMAT DATANG KE TEMPAT KAMI DI MERDUT (MERPATI DUTA )
hatur nuhun .....

dukung persib

CLOSE FRIEND

09 November 2007

Rikhlah

Setelah melakukan rutinitas sehari-hari , kerlu kiranya kita mengadakan sedikit refreshing yang murah meriah.... ini dia lagi jalan-jalan pagi ke kebun dan hutan cimenyan ( memang ada ? )
Ini dia sebagian foto-fotonya, yang lainnya susah masuk..... Happy Weekday ( 28 Oktober 2007 )

07 November 2007

teks suci 2 ( habis )

Membaca Teks Suci (2)
Nadirsyah Hosen

Ummat Islam menjadikan Al-Qur'an sebagai sumber rujukan utama dan terutama. Kitab suci itu juga menjelaskan fungsinya sebagai, "Kitab yang tiada keraguan didalamnya sebagai petunjuk bagi orang yang bertakwa"(Al-Baqarah:2). Karena tiada keraguan mengenai isinya, maka semua informasi yang diberikan dalam Al-Qur'an pastilah benar. Hal ini tidaklah mengherankan karena Al-Qur'an adalah Kalamullah; ia berasal dari Allah SWT. Adalah wajib bagi ummat islam untuk meyakini bahwa satu huruf pun dalam Al-Qur'an itu berasal dari Allah SWT.
Kitab suci yang diturunkan kepada Muhammad SAW ini haruslah dibaca dan dipahami sebaik mungkin. Sayangnya, ada dua hal yang menyulitkan kita untuk memahaminya. Pertama, Al-Qur'an menggunakan bahasa Arab. Kedua,tema-temanya tidak tersusun rapi dan sistematis.
Kesulitan pertama lahir karena ketidakmampuan sebagian besar diantara kita berbahasa arab dengan baik. Hal ini diperparah dengan kenyataan bahwa sastra yang digunakan oleh Al-Qur'an sangatlah tinggi. Bagi yang tidak menguasai bahasa Arab atau hanya sedikit menguasai jelas amat sulit untuk menangkap maksud Al-Qur'an dengan baik. Bahkan mereka yang bahasa ibunya bahasa Arab pun belum tentu mampu memahami kandungan bahasa al-Qur'an. Untunglah terjemahan Al-Qur'an sudah dicetak dan beredar luas. Tafsir berbahasa Indonesia juga sudah ada, semisal Tafsir Al-Azhar Buya Hamka.
Kesulitan kedua merupakan lanjutan logis dari kesulitan pertama. 114 surat yang terbagi dalam 30 juz dan tersebar dalam enam ribu lebih ayat bukanlah tersusun seperti ensiklopedi, yang entrinya disusun secara alpabetikal. Tema dalam Al-Qur'an terkesan meloncat-loncat. Kita akan gagal memahami maksud satu tema, bahkan satu ayat, dalam Al-Qur'an tanpa menghubungkannya dengan sejumlah ayat lain; bahkan juga harus dibantu dengan sejumlah riwayat hadis. Ini menunjukkan kita harus benar-benar memahami Al-QurĂ¢an secara satu kesatuan (holistik).
Berbeda dengan membaca ensiklopedi yang bila telah menemukan satu entri maka kita dapat melupakan atau mengacuhkan entri lainnya. Tapi tidak demikian halnya dengan Al-Qur'an. Membaca hanya surat Al-Baqarah ayat 219 tentang khamr tidak akan meraih pemahaman yang utuh, kecuali bila kita juga membaca QS. 47: 12, dan QS. 5:90. Untunglah kita tertolong dengan beberapa kitab yang berfungsi sebagai indeks dalam mencari ayat Al-Qur'an. Kitab Mu'jam al-Mufahras, Fathur Rahman atau Indeks Al-Qur'an (terbitan Pustaka Bandung), Konkordansi Al-Qur'an (terbitan Litera Bogor) hanyalah sekedar menyebut beberapa kitab yang sangat berguna bagi kita.
Persoalan yang paling utama adalah bagaimana kita "membaca" Al-Qur'an sehingga hasil "bacaan" tersebut dapat berpengaruh dan menjawab semua problematika kehidupan?
Buat anak IAIN, Al-Qur'an telah menjadi obyek pembahasan tafsir; buat "paranormal", ayat Qur'an menjadi jimat; buat pejabat, ayat Qur'an yang dikutipnya membuat ia dianggap sebagai tokoh Islam, apalagi kalau ia kemudian bergabung dengan organisasi kumpulan cendekiawan Islam; buat para da'i, ayat Qur'an harus dikutip dalam ceramahnya, semakin banyak ayat yg dikutip semakin terlihat kealimannya; buat Sri Bintang Pamungkas, ayat Qur'an juga bisa ditaruh di kartu lebaran "politik"nya; buat AM Saefuddin dari PPP, ayat-ayat yang menyebut "bintang" dikumpulkannya untuk memberi justifikasi lambang partainya; buat seorang kiyai pendukung Golkar, problema umat islam bisa dipecahkan dengan kumpulan ayat yang bila huruf awalnya disingkat akan melahirkan kata "Golkar". Buat qari'-qari'ah, ayat Qur'an dilagukan di MTQ; dan masih banyak macam dan ragam cara kita "memperlakukan" Al-Qur'an.
Tetapi, pernahkah kita berpikir untuk menempatkan Al-Qur'an sesuai dengan proporsinya? Bila kita menghadapi masalah yang berat pernahkah kita mencoba mencari jawabannya di Qur'an? Bila rezeki Tuhan turun begitu melimpah atau tersendat-sendat kepada kita, adakah kita temukan jawabannya dalam kitab suci? Bila kita berselisih dengan karib kerabat pernahkah kita mencari penyelesaiannya dalam Al-Qur'an? Maukah kita disamping membaca koran dan email tiap hari juga mau membaca al-Qur'an setiap hari? Pernahkah kita introspeksi perjalanan hidup kita dengan melihat kandungan ayat suci al-Qur'an sebagai "hakim"nya? Pada umur berapa kita mulai tertarik dengan al-Qur'an dan bersedia menelaah ayat demi ayatnya?
Syaikh Abdullah Darraz berkata, "Al-Qur'an itu bagaikan intan berlian. Dipandang dari sudut manapun tetap memancarkan cahaya". Boleh jadi ada sejumlah surat (katakanlah Surat Al-Ikhlas) yang sejak kecil kita baca (entah telah berapa ratus kali). Pernahkah kita melihat "cahaya"nya yang berbeda-beda? Ketika kita membaca surat Al-Ikhlas dalam satu kondisi boleh jadi kita mendapat satu pemahaman. Di hari dan kondisi yang berbeda, boleh jadi ayat yang sama akan melahirkan pemahaman yang berbeda pula. Semakin sering dibaca, semakin dalam maknanya. Surat Yasin yang dibaca setiap minggu oleh sebagian dari kita, seharusnya telah melahirkan pemahaman yang semakin mendalam setiap minggunya.
Jika kita mampu "membaca" al-Qur'an lebih dari saat kita membaca huruf demi hurufnya, al-Qur'an tiba-tiba menjadi "hidup". Seorang rekan bercerita, ketika ia hendak melakukan perbuatan yang tercela, tiba-tiba ayat al-Qur'an melintas didepannya. Ia terkejut melihat Allah langsung menegurnya dengan "menampakkan" ayat Qur'an didepan matanya. Ketika ia membaca satu ayat, ia tak mampu memahaminya. Namun ia teruskan juga membaca ayat selanjutnya, tiba-tiba ia terkejut karena ia merasa "dibisiki" jawaban ketidaktahuannya melalui ayat selanjutnya. Walhasil, setiap ia membaca al-Qur'an, selalu ia temukan jawaban.
Konon, menurut satu riwayat, al-Qur'an itu berisikan tujuh makna lahir dan tujuh makna batin. Saya tak tahu makna ditingkat keberapa yang sudah diraih rekan tersebut. Yang saya tahu, ia seorang Ethiopia dan sedang menyelesaikan master dalam bidang ekonomi di kampus saya. Yang saya tahu, ia tak berbeda dengan kita dalam hal keawaman terhadap disiplin keislaman klasik (ia bukan seorang ulama), namun pada saat yang sama ia berbeda dengan kita karena ia telah mampu "menghidupkan" al-Qur'an dan membuktikan bahwa al-Qur'an itu memang Kitab petunjuk.
Wa Allahu a'lam bi al-Shawab

06 November 2007

Memahami Kitab suci



Membaca Teks Suci (1)
Nadirsyah Hosen

Nabi wafat dan meninggalkan dua pusaka, al-Qur'an al-Karim dan Hadis Nabi. Dipesankan oleh Nabi Muhammad saw, bila kita berpegang teguh pada kedua pusaka itu, niscaya kita akan selamat di dunia dan akherat.
Petunjuk suci itu hadir di tengah kita kini dalam bentuk teks. Petunjuk suci itu lahir lima belas abad yang lampau. Kedua pusaka itu telah melintasi ruang dan waktu. Sudah banyak lahir karya ulama besar yang memberi tafsir terhadap kedua teks suci itu sehingga teks suci itu selalu dapat dijadikan petunjuk untuk menghadapi tantangan zaman.
Ya, tafsir merupakan kata kunci dalam usaha "membumikan" kedua teks suci itu. Semakin cerdas kita membaca teks, semakin cerdas pula teks itu memberikan jawaban. Pada titik ini, yang terjadi adalah dialog terus menerus antara si pembaca teks dengan teks suci tersebut. Karena itu kualitas "bacaan" terhadap teks dipengaruhi oleh kualifikasi pembaca.
Ayat-ayat mengenai jihad yang dibaca oleh pejuang di Palestina dan di Bosnia tentu berbeda nuansanya bila dibaca oleh Muslim yang tinggal di kaki gunung yang penuh kedamaian. Ayat mengenai solidaritas sosial tentu menjadi lebih hidup ketika diberi muatan tafsir oleh aktivis sosial. Begitu pula ayat-ayat tentang alam semesta menjadi sumber inspirasi dan konfirmasi bagi ilmuwan.
Semua umat Islam memiliki hak yang sama untuk mengakses kedua pusaka itu; tidak peduli latar belakang dan spesialisasi keilmuan mereka. Sayang, sebagian orang membatasi hak penafsiran itu pada orang tertentu (yang lazimnya dikenal dengan sebutan ulama). Lebih celaka lagi, sebagian orang menyalahgunakan haknya dalam mengakses teks suci itu. Seorang ahli ekonomi tiba-tiba membahas aspek syari'ah dalam kedua teks suci tersebut. Seorang ahli peternakan tiba-tiba tampil membahas ayat-ayat tentang teologi. Seorang pakar hukum Islam keluar dari jalurnya ketika ia bicara ayat dan hadis tentang tekhnologi. Pendek kata, menyalahgunakan hak jauh lebih berbahaya dibanding tidak menggunakan hak itu.
Tafsir adalah kata kunci dalam menjalankan Islam, khususnya ketika kedua pusaka suci mengirimkan sinyal-sinyal yang samar dan remang-remang. Tafsir diperlukan untuk membuat sinyal itu menjadi jelas. Sayang, banyak yang suka melakukan monopoli penafsiran. Banyak yang emoh dengan pluralitas penafsiran. Bahkan, banyak pula yang anti dengan perbedaan pendapat. Tidak jarang sebuah perbedaan pendapat disikapi dengan kecurigaan, tuduhan, dan hamburan emosi.
Membaca teks suci dan mengamalkannya adalah pesan Nabi yang harus diikuti. Namun banyak yang lupa, bahwa perbedaan pendapat dan keragaman penafsiran terhadap kedua teks suci itu justru lahir karena mengamalkan pesan Nabi itu. Selain tafsir, tampaknya kata kunci dalam memahami kedua pusaka peninggalan Nabi adalah pluralitas.
Masalahnya, sudah siapkah kita menerima pluralitas penafsiran terhadap kedua teks suci itu? Atau kita masih saja merasa bahwa tafsiran kitalah yang paling benar, dan orang lain yang berbeda penafsiran dengan kita dianggap mempraktekkan bid'ah, sesat, ataupun kafir?
Armidale, 27 Mei 1998