SELAMAT-DATANG

Assalamu'alaikum warohmatullohi Wabarakatuh
SELAMAT DATANG KE TEMPAT KAMI DI MERDUT (MERPATI DUTA )
hatur nuhun .....

dukung persib

CLOSE FRIEND

20 Agustus 2007

Quo Vadis , Sekolah Internasional ?


JAKARTA , Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) kini gencar dilakukan Departemen Pendidikan Nasional. Untuk masuk ke sekolah ini juga tidak mudah. Siswa harus memeras dompet orang tuanya hingga mampat. SMAN 78 Jakarta Barat misalnya menarik uang iuran sebesar Rp 24 juta rupiah.SMAN 78 memberi keistimewaan kepada siswa yang masuk di kelas internasional ini. Anehnya, konsep sekolah internasional yang digagas oleh Depdiknas dan diberlakukan di hampir sebagian besar sekolah unggulan di seluruh Indonesia itu dinilai akan menuai kesia-siaan. Sebab, konsep Depdiknas itu dinilai sebagai konsep gagal dan bahkan menghancurkan sekolah unggulan yang sudah lama dibangun. Banyak sekali kelemahan mendasar SBI. Kesimpulan saya, SBI ini dikonsep untuk gagal total. Tidak ada alasan program ini bisa berhasil. Program ini akan menuai kesia-siaan dan bahkan merusak sekolah unggulan yang selama ini berkualitas,tegas pengamat pendidikan Satria Dharma, di Jakarta, kemarin. Satria Dharma memotret sejumlah kelemahan mendasar program ambisius yang dilakukan tanpa riset ini.Pertama, dengan menyatakan bawah SBI = SNP (standar nasional pendidikan) + X. Rumus panduan yang dikeluarkan Depdiknas itu tidak memberikan arah yang jelas dan pasti apa yang dimaksud X tersebut. Apa yang ingin ditambah dalam X itu, mana yang diadopsi. Dalam panduan hanya disebutkan, X itu penguatan, pengayaan, pendalaman melalui adaptasi atau adopsi standar pendidikan di dalam dan luar negeri,tegas Satria, yang juga pendiri dan konsultan pendidikan dari The Centre for Betterment of Education (CBE) ini. Ia meyakini Depdiknas tidka mengerti konsep ini dan asal membuat teori saja dengan akal-akalan menempelkan berbagai standar internasional dalam program SBI tersebut.Jika Depdiknas menyebukan bahwa X itu adalah standar pendidikan ala Cambrige atau IB, TOEFL/TOEIC/ ISO atau UNES CO, justeru arah konsep SBI bisa diketahui. Sekolah ini mau dibawa ke mana, konsepnya saja tidak pasti. Saya yakin penggagas konsep ini pun tidak mengerti apa yang dibuatnya, tandasnya. Kedua, Dikdasmen membuat rumusan empat model pembinaan SBI. Keempatnya yaitu model sekolah baru, model pengembangan pada ekolah yang telah ada (exiting school), model terpadu, dan model kemitraan. Bagi Satria keempat model ini sejatinya hanya dua model, yaitu model sekolah baru dan sekolah yang telah ada. Dari dua model itu, Dikdasmen hanya melakukan satu model, yakni model pengembangan pada sekolah yang telah ada (exiting school). Dikdasmen tidak berusah membuat model sekolah baru, meski itu hanya pilot project.Panduan tak JelasBerdasarkan panduan SBI yang dikeluarkan Dikdasmen, sulit bagi sekolah lama untuk menyesuaikan diri. Sebab, syarat dan kriteria yang ditetapkan dalam panduan itu sejatinya ditujukan untuk pembuatan sekolah baru. Salah satu syaratnya adalah sekolah yang ada sekarang harus memiliki guru berkategori hard science seprti matematika, fisika, kimia, dan biologi. Guru juga harus bisa menggunakan bahasa pengantar bahasa Inggris dan lainnya. Ini jelas tidak mungkin bisa dilakukan. Sebab, guru di sekolahsekolah favorit tidak ada yang memiliki kemampuan bahasa Inggris memadai. Yang terjadi nanti justeru materi tidak akan sampai ke siswa dengan baik. Akan terjadi hambatan komunikasi yang serius. Akibatnya, siswa tidak akan menguasai materi. Mutu keluaran siswa akan semakin jeblok,katanya. Dikdasmen sama halnya menyuruh kereta api berjalan di jalan aspal. Proyek itu pasti akan gagal total, kata pengamat yang juga konsultan pendidikan di Sampoerna Foundation ini serius. (her)